Tuesday 26 November 2013

WALI SONGO
Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

       Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
     Sunan Ampel atau Raden Rahmat
   Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
   Sunan Drajat atau Raden Qasim
   Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq
   Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
   Sunan Kalijaga atau Raden Said
   Sunan Muria atau Raden Umar Said
    Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah

Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur

Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah

Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[2] Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.

Isteri Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah 2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad 3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf. Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].

Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan di daerah Tuban, Jawa Timur.

Sunan Derajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. saudara dari sunan derajat adalah masih munat. masih munat nantinya terkenal dengan nama sunan derajat.sunan derajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya. dialah wali yang memelopori penyatuan anak-anak yatim dan orang sakit. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.

Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.

Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.

Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.

Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Gapura Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.

Tokoh pendahulu Walisongo

Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra / Husain Jamaluddin al akbar bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.

Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[3] [4]

Asal usul Walisongo

Teori keturunan Hadramaut

Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):

       L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[5] mengatakan:

”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”

       van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):

”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."

Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.

       Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.

       Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.

       Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

Teori keturunan Cina
Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia.[6] Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.[rujukan?]

Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi.

Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan [7].

Sumber tertulis tentang Walisongo

1.      Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.

2.      Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.

3.      Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.





Diteksi dari sumber lain pula:

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.

Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.

 Ketika wafat, beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang.

Sejarah Hidup

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.

Sunan Ngudung(Keluarga Walisongo)

Nama asli Sunan Ngudung adalah Raden Usman Haji, putra Sunan Gresik kakak Sunan Ampel. Atau dengan kata lain, ia masih sepupu Sunan Bonang. Sunan Ngudung menikah dengan Nyi Ageng Maloka putri Sunan Ampel. Dari perkawinan tersebut lahir Raden Amir Haji, yang juga bernama Jakfar Shadiq alias Sunan Kudus.

Sunan Ngudung diangkat sebagai imam Masjid Demak menggantikan Sunan Bonang sekitar tahun 1520. Selain itu ia juga tergabung dalam anggota dewan Walisanga, yaitu suatu majelis dakwah agama Islam di Pulau Jawa.

 Kisah Kematian

Naskah-naskah babad, misalnya Babad Demak atau Babad Majapahit lan Para Wali mengisahkan Sunan Ngudung tewas ketika memimpin pasukan Kesultanan Demak dalam perang melawan Kerajaan Majapahit. Menurut naskah-naskah legenda tersebut, perang antara dua kerajaan ini terjadi pada tahun 1478. Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah melawan Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh ayahnya sendiri yaitu Brawijaya.

Sunan Ngudung diangkat sebagai panglima perang menghadapi musuh yang dipimpin oleh Raden Kusen, adik tiri Raden Patah sendiri yang menjabat sebagai adipati Terung (dekat Krian, Sidoarjo). Raden Kusen merupakan seorang muslim namun tetap setia terhadap Majapahit. Dalam perang tersebut Sunan Ngudung sempat bersikap takabur karena telah memakai baju perang bernama Kyai Antakusuma (sekarang disebut Kyai Gondil). Baju pusaka itu diperoleh Sunan Kalijaga dan konon merupakan baju perang milik Nabi Muhammad.

Akibat sikap takabur tersebut, Sunan Ngudung lengah dalam pertempuran dan akhirnya tewas di tangan Raden Kusen.

Jabatan Sunan Ngudung sebagai panglima perang kemudian digantikan oleh Sunan Kudus. Di bawah kepemimpinannya pihak Demak berhasil mengalahkan Majapahit.

 Tahun Kematian

Menurut prasasti Trailokyapuri diketahui bahwa Majapahit runtuh bukan akibat serangan Demak melainkan karena perang saudara melawan keluarga Girindrawardhana. Namun siapa nama raja Majapahit saat itu tidak disebutkan dengan jelas. Secara samar-samar Pararaton menyebut nama Bhre Kertabhumi yang diduga sebagai raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Girindrawardhana.

Apabila benar demikian, maka perang antara Demak dan Majapahit yang dikisahkan dalam naskah-naskah babad terjadi pada tahun 1478 belum tentu pernah terjadi. Prasasti Trailokyapuri menyebut Girindrtawardhana sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri.

Sementara itu Babad Sengkala menyebut Kadiri runtuh akibat serangan Demak pada tahun 1527. Karena menurut prasasti di atas, Kadiri dan Majapahit adalah satu kesatuan, maka dapat disimpulkan bahwa perang antara Majapahit dan Demak bukan terjadi pada tahun 1478 melainkan tahun 1527.

Perang antara dua kerajaan tersebut mungkin terjadi lebih dari satu kali. Naskah Hikayat Hasanuddin menyebutkan pada tahun 1524 imam Masjid Demak yang bernama Pangeran Rahmatullah tewas ketika memimpin perang melawan Majapahit. Tokoh ini kemungkinan besar identik dengan Sunan Ngudung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kematian Sunan Ngudung terjadi pada tahun 1524, bukan 1478 sebagaimana yang tertulis dalam naskah babad.

 Sunan Prawoto (Warga Wali Songo)

Sunan Prawoto adalah raja keempat Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1546-1549. Nama aslinya ialah Raden Mukmin. Ia lebih cenderung sebagai seorang ahli agama dari pada ahli politik.

 Raden Mukmin Semasa Muda

Naskah babad dan serat menyebut Raden Mukmin adalah putra sulung Sultan Trenggana. Ia lahir saat ayahnya masih sangat muda dan belum menjadi raja.

Pada tahun 1521 Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia tanpa keturunan. Kedua adiknya beraing memperebutkan takhta, yaitu Raden Trenggana dan Raden Kikin. Raden Trenggana adalah adik kandung Pangeran Sabrang Lor, sama-sama lahir dari permaisuri Raden Patah, sedangkan Raden Kikin meskipun lebih tua usianya, tapi lahir dari selir, yaitu putri bupati Jipang.

Dalam persaingan ini tentu saja Raden Mukmin memihak ayahnya. Ia mengirim pembantunya yang bernama Ki Surayata untuk membunuh Raden Kikin sepulang Salat Jumat. Raden Kikin tewas di tepi sungai, sedangkan para pengawalnya sempat membunuh Ki Surayata.

Sejak saat itu Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya "bunga yang gugur di sungai". Pangeran Sekar Seda Lepen meninggalkan dua orang putra dari dua orang istri, yang bernama Arya Penangsang dan Arya Mataram.

Pemerintahan Sunan Prawoto

Sultan Trenggana memerintah Kesultanan Demak tahun 1521-1546. Sepeninggalnya, Raden Mukmin selaku putra tertua naik takhta. Ambisinya sangat besar untuk melanjutkan usaha ayahnya menaklukkan Pulau Jawa. Namun keterampilannya dalam berpolitik sangat rendah. Ia lebih suka hidup sebagai ulama suci dari pada sebagai raja.

Pusat pemerintahan Raden Mukmin dipindahkan dari kota Bintoro menuju bukit Prawoto. Oleh karena itu, Raden Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto.

Pemerintahan Sunan Prawoto juga terdapat dalam catatan seorang Portugis bernama Manuel Pinto. Pada tahun 1548 Manuel Pinto singgah ke Jawa sepulang mengantar surat untuk uskup agung Pastor Vicente Viegas di Makassar. Ia sempat bertemu Sunan Prawoto dan mendengar rencananya untuk mengislamkan seluruh Jawa, serta ingin berkuasa seperti sultan Turki. Sunan Prawoto juga berniat menutup jalur beras ke Malaka dan menaklukkan Makassar. Akan tetapi, rencana itu berhasil dibatalkan oleh bujukan Manuel Pinto.

Pada kenyataannya, cita-cita Sunan Prawoto tidak pernah terlaksana. Ia lebih sibuk sebagai ahli agama dari pada mempertahankan kekuasaannya. Satu per satu daerah bawahan, misalnya Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik berkembang bebas sedangkan Demak tidak mampu menghalanginya.


Kematian Sunan Prawoto

Selain Sunan Prawoto muncul dua orang lagi menjadi tokoh kuat sepeninggal Sultan Trenggana, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang, dan Hadiwijaya bupati Pajang. Masing-masing adalah keponakan dan menantu Sultan Trengganu.

Arya Penangsang adalah putra Pangeran Sekar Seda ing Lepen yang mendapat dukungan dari gurunya, yaitu Sunan Kudus untuk merebut takhta Demak. Pada tahun 1549 ia mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membalas kematian ayahnya.

Menurut Babad Tanah Jawi, pada suatu malam Rangkud berhasil menyusup ke dalam kamar tidur Sunan Prawoto. Sunan mengakui kesalahannya telah membunuh Pangeran Seda Lepen. Ia rela dihukum mati asalkan keluarganya diampuni.

Rangkud setuju. Ia lalu menikam dada Sunan Prawoto yang pasrah tanpa perlawanan sampai tembus. Ternyata istri Sunan sedang berlindung di balik punggungnya. Akibatnya ia pun tewas pula. Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawoto marah dan sempat membunuh Rangkud dengan sisa-sisa tenaganya.

Sunan Prawoto tewas meninggalkan seorang putra yang masih kecil bernama Arya Pangiri, yang kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat dari Jepara. Setelah dewasa, Arya Pangiri menjadi menantu Sultan Hadiwijaya raja Pajang, dan diangkat sebagai bupati Demak.

[sunting] Raden Mukmin dalam Kronik Cina

Kronik Cina dari kuil Sam Po Kong menyebut Raden Mukmin dengan nama Muk Ming. Pada tahun 1529 ia menggantikan Kin San sebagai kepala galangan kapal di Semarang. Kin San adalah adik Jin Bun (alias Raden Kusen adik Raden Patah).

Muk Ming bekerja keras dibantu masyarakat Cina baik yang muslim ataupun non muslim menyelesaikan 1.000 kapal besar yang masing-masing dapat memuat 400 orang prajurit. Pembangunan kapal-kapal perang tersebut untuk kepentingan angkatan laut ayahnya, yaitu Tung-ka-lo (Sultan Trenggana) yang berniat merebut Maluku.

Belum sempat Tung-ka-lo merebut Maluku, ia lebih dulu tewas saat menyerang Panarukan tahun 1546. Muk Ming pun naik takhta namun dimusuhi sepupunya yang menjadi bupati Ji-pang (alias Arya Penangsang).

Perang saudara terjadi. Kota Demak dihancurkan bupati Ji-pang. Muk Ming pindah ke Semarang tapi terus dikejar musuh. Akhirnya ia tewas di kota itu. Galangan kapal hancur terbakar pula. Yang tersisa hanya masjid dan kelenteng saja.

Sunan Kudus

Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Jaffar Shadiq. Dia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung, adalah panglima perang Kesultanan Demak Bintoro, dan Syarifah, adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Sunan Kudus pernah menjabat sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, dan dalam masa pemerintahan Sunan Prawoto, dia menjadi penasihat bagi Arya Penangsang. Selain sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, Sunan Kudus juga menjabat sebagai hakim pengadilan bagi Kesultanan Demak.

Dalam melakukan dakwah penyebaran Islam di Kudus, Sunan Kudus menggunakan sapi sebagai sarana penarik masyarakat untuk datang untuk mendengarkan dakwahnya. Sunan Kudus juga membangun Menara Kudus yang merupakan gabungan kebudayaan Islam dan Hindu yang juga terdapat Masjid yang disebut Masjid Menara Kudus.

Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus, Jawa Tengah.Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.

Sunan Bonang

Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Rembang.

Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya beliau sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi beliau sampai ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau. Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya.

Karya Sastra

Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang.

Apa pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.

 Keilmuan

Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Beliau mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernafasan yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( ا ل م ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'. Beliau menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Sholat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia

Sunan Gresik

(Dialihkan dari Maulana Malik Ibrahim)

aulana Malik Ibrahim, ilustrasi artisSunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.

Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.

Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.[1]

Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, "Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans[2] lainnya di Desa Leran di Jang'gala".[3]

Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.[4]

Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim. [5] [6] [7] [8]

Penyebaran Agama

Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya.[9] Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.

Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa TimurPertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.[10]

Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.[11] Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.[12]

Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat. [13]

 Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.[14]

Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.

Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.

Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Inskripsi dalam bahasa Arab yang tertulis pada makamnya adalah sebagai berikut:

 

Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Wazir, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi'ul Awwal 822 Hijriah.

Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim. [15]

Sunan Ampel

ilustrasi Sunan AmpelSunan Ampel pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orangtua Sunan Ampel adalah Ibrahim Asmarakandi yang berasal dari Champa dan menjadi raja di sana.

Ibrahim Asmarakandi disebut juga sebagai Maulana Malik Ibrahim. Ia dan adiknya, Maulana Ishaq adalah anak dari Syekh Jumadil Qubro. Ketiganya berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah.

Sunan Ampel @ Raden Rahmat @ Sayyid Ahmad Rahmatillah bin

Maulana Malik Ibrahim @ Ibrahim Asmoro bin

Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Khan bin

Ahmad Jalaludin Khan bin

Abdullah Khan bin

Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin

Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin

Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)

Ali Kholi' Qosam bin

Alawi Ats-Tsani bin

Muhammad Sohibus Saumi'ah bin

Alawi Awwal bin

Ubaidullah bin

Ahmad al-Muhajir bin

Isa Ar-Rumi bin

Muhammad An-Naqib bin

Ali Uraidhi bin

Ja'far ash-Shadiq bin

Muhammad al-Baqir bin

Ali Zainal Abidin bin

Imam Husain bin

Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra bin Muhammad

Jadi, Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dan Champa dari sebelah ibu. Tetapi dari ayah leluhur mereka adalah keturunan langsung dari Ahmad al-Muhajir, Hadhramaut. Bermakna mereka termasuk keluarga besar Saadah BaAlawi.

Syekh Jumadil Qubro, dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudra Pasai.

Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya merubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri Champa, dan lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa diikuti keluarganya.

Sunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Syarifah, yang merupakan ibu dari Sunan Kudus.

Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak.

Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.


Sunan Giri

Sunan Giri, ilustrasi artisSunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.

Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.

Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.


Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi Sekardadu menghanyutkannya ke laut.


Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.

Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.

Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.

Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.

Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

Sunan Muria

ilustrasi Sunan MuriaSunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngudung.

Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia dimakamkan.

Sunan Gunung Jati

Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifisasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.

ilustrasi Sunan Gunung JatiSunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.

Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar.

Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husain.

sunting] Ibunda

Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang, seorang putri keturunan Kerajaan Sunda, anak dari Sri Baduga Maharaja, atau dikenal juga sebagai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyai Subang Larang. Makam dari Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam klenteng di Pasar Bogor, berdekatan dengan pintu masuk Kebun Raya Bogor.

Silsilah

.Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Al-Khan bin

.Sayyid 'Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin

.Sayyid 'Ali Nuruddin Al-Khan @ 'Ali Nurul 'Alam

.Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan bin

.Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin

.Sayyid Abdullah Al-'Azhomatu Khan bin

.Sayyid Amir 'Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin

.Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin

.Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)

.Sayyid Ali Kholi' Qosim bin

.Sayyid Alawi Ats-Tsani bin

.Sayyid Muhammad Sohibus Saumi'ah bin

.Sayyid Alawi Awwal bin

.Sayyid Al-Imam 'Ubaidillah bin

.Ahmad al-Muhajir bin

.Sayyid 'Isa Naqib Ar-Rumi bin

.Sayyid Muhammad An-Naqib bin

.Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin

.Sayyidina Ja'far As-Sodiq bin

.Sayyidina Muhammad Al Baqir bin

.Sayyidina 'Ali Zainal 'Abidin bin

.Al-Imam Sayyidina Hussain

Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad


Silsilah dari Raja Pajajaran

.Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah

.Rara Santang (Syarifah Muda'im)

.Prabu Jaya Dewata @ Raden Pamanah Rasa @ Prabu Siliwangi II

.Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali)

.Niskala Wastu Kancana @ Prabu Sliwangi I

.Prabu Linggabuana @ Prabu Wangi (Raja yang tewas di Bubat)

  

 Ibu

Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Pangeran Walangsungsang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi.

Makam Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.

Pertemuan orang tuanya

Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).

Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.

Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.

 Perjalanan Hidup

 Proses belajar

Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.

Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Pernikahan

Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Kesultanan Demak

Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Gangguan proses Islamisasi

Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.

Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.

Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.

Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.

Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.

Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.

Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.

Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.

Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.


[sunting] Perundingan Yang Sangat Menentukan

Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.

Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.

Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.

Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.

Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.

Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

Sunan Geseng (Warga Walisongo)

Sunan Geseng, atau sering pula disebut Eyang Cakrajaya, adalah murid Sunan Kalijaga. Ia adalah keturunan Imam Jafar ash-Shadiq, dengan nasab: Sunan Geseng bin Husain bin al-Wahdi bin Hasan bin Askar bin Muhammad bin Husein bin Askib bin Mohammad Wahid bin Hasan bin Asir bin 'Al bin Ahmad bin Mosrir bin Jazar bin Musa bin Hajr bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w. [1]

Menurut hikayat, pada suatu saat ia mengikuti anjuran Sunan Kalijaga untuk mengasingkan diri di suatu hutan untuk konsentrasi beribadah kepada Allah. Di tengah lelakunya itu, hutan tersebut terbakar, tapi beliau tidak mau menghentikan tapanya, sesuai pesan sang guru untuk jangan memutus ibadah, apapun yang terjadi, sampai sang guru datang menjenguknya. Demikianlah, ketika kebakaran berhenti dan Sunan Kalijaga datang menjenguknya, dia dapati Cakrajaya telah menghitam hangus, meskipun tetap sehat wal afiat. Maka digelarilah beliau dengan Sunan Geseng.

Makam Sunan Geseng terletak di Dusun Jolosutro, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya kira-kira 2 km di sebelah kanan Jalan Yogyakarta-Wonosari Km. 14 (kalau datang dari Yogyakarta). Setiap tahun ada perayaan dari warga setempat untuk menghormati Sunan Geseng. Selain di dekat Pantai Parangtritis, Jogjakarta, makam Sunan Geseng juga dipercaya terdapat di sebuah desa yang bernama Desa Tirto, di kaki Gunung Andong-dekat Gungung Telomoyo-secara administratif di bawah Kecamaan Grabag, Kabupaten Magelang Jawa Tengah.

Masyarakat sekitar makam khususnya, dan Grabag pada umumnya, sangat mempercayai bahwa makam yang ada di puncak bukit dengan bangunan cungkup dan makam di dalamnya adalah sarean (makam) Sunan Geseng.[rujukan?]

Pada Bulan Ramadhan, pada hari ke-20 malam masyarakat banyak yang berkumpul di sekitar makam untuk bermunajat. Selain itu, di Desa Kleteran (terletak di bawah Desa Tirto) juga terdapat sebuah Pondo Pesantren yang dinamai Ponpes Sunan Geseng.[rujukan?]

Sunan Drajat

Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifisasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.

ilustrasi Sunan DrajatSunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang.

Ketika dewasa, Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran, Lamongan.

Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau menyebarkan agama islam di desa Drajad sebagai tanah perdikan dikecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun saka 1442/1520 masehi Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari surabaya maupun Tuban lewat Jalan Dandeles ( Anyer - Panarukan ), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaran pribadi.

Sejarah singkat

Sunan Drajat bernama kecil Raden Syari­fuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau me­ngambil tempat di Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Beliau memegang kendali keprajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.

Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal sosiawan sangat memperha­tikan nasib kaum fakir miskin. Beliau terle­bih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usaha kearah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang mempu­nyai otonomi.

Sebagai penghargaan atas keberha­silannya menyebarkan agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak I pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.

Wewarah pengentasan kemiskinan Sunan Drajat kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut sebagai berikut :

Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)


Jroning suko kudu eling Ian waspodo (didalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)


Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)


Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu - nafsu)


Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan mem­peroleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).


Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir bathin hanya bisa kita capai dengan sholat lima waktu)


Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masya­rakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)


Penghargaan

Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa - sisa gamelan Singomeng­koknya Sunan Drajat kini tersimpan di Musium Daerah.

 

Untuk menghormati jasa - jasa Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan dan untuk melestarikan budaya serta benda­banda bersejarah peninggalannya Sunan Drajat, keluarga dan para sahabatnya yang berjasa pada penyiaran agama Islam, Pemerintah Daerah Lamongan mendirikan Musium Daerah Sunan Drajat disebelah timur Makam. Musium ini telah diresmikan oleh Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur tanggal 1 maret 1992.

Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad Faried, SH untuk menyelamatkan dan melestarikan warisan sejarah bangsa ini mendapat dukungan penuh Gubernur Jawa Timur dengan alokasi dana APBD I yaitu pada tahun 1992 dengan pemugaran Cungkup dan pembangu­nan Gapura Paduraksa senilai Rp. 98 juta dan anggaran Rp. 100 juta 202 ribu untuk pembangunan kembali Masjid Sunan Drajat yang diresmikan oleh Menteri Penerangan RI tanggal 27 Juni 1993. Pada tahun 1993 I 1994 pembenahan dan pembangunan Situs Makam Sunan Drajat dilanjutkan dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi paseban, bale rante serta Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I Jawa Timur sebesar RP. 131 juta yang diresmikan Gubernur Jawa Timur M. Basofi Sudirman tanggal 14 Januari 1994.(www.lamongan.go.id)





No comments:

Post a Comment