HUKUM
SHALAT JEMAAH
Yang ada hanya
sekian banyak dalil yang masih mungkin menerima ragam kesimpulan yang berbeda.
Dan sebenarnya hal seperti ini sangat lumrah di dunia fiqih, kita pun tidak
perlu terlalu risau bila ada pendapat dari ulama yang ternyata tidak sejalan
dengan apa yang kita pahami selama ini. Atau berbeza dengan apa yang diajarkan
oleh guru kita selama ini.
Dan berikut saya
huraikan masing-masing pendapat yang ada beserta dalil masing-masing, semoga
bermanfaat dan menambah wawasan kita dalam ilmu syariah.
1. Pendapat
Pertama: Fardhu Kifayah
Yang mengatakan
hal ini adalah Al Imam Asy Syafi`i dan Abu Hanifah sebagaimana disebutkan oleh
Ibnu Habirah dalam kitab Al Ifshah jilid 1 halaman 142. Demikian juga dengan
jumhur (majoriti) ulama baik yang lampau (mutaqaddimin) maupun yang berikutnya
(mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan mazhab
Al Hanafiyah dan Al Malikiyah.
Dikatakan
sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang menjalankannya,
maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya, bila tidak
ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka berdosalah semua orang yang
ada di situ. Hal itu kerana shalat jamaah itu adalah bahagian dari syiar
agama Islam.
Di dalam kitab
Raudhatuth Thalibin karya Imam An Nawawi disebutkan bahwa:
Shalat jamaah
itu itu hukumnya fardhu `ain untuk shalat Jumaat. Sedangkan untuk shalat fardhu
lainnya, ada beberapa pendapat. Yang paling shahih hukumnya adalah fardhu
kifayah, tapi juga ada yang mengatakan hukumnya sunnah dan yang lain lagi
mengatakan hukumnya fardhu `ain.
Adapun dalil
mereka ketika berpendapat seperti di atas adalah:
Dari Abi Darda`
Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak
melakukan shalat jamaah, kecuali syaithan telah menguasai mereka. Hendaklah kamu
sekelian berjamaah, sebab serigala itu memakan biri-biri(kambing) yang lepas
dari kawanannya.” (HR Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan)
Dari Malik bin
Al Huwairits bahawa Rasulullah SAW, “Kembalilah kamu sekelian kepada keluarga kama
dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan perintahkan mereka
melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah seorang kamu mengumandangkan
azan dan yang paling tua menjadi imam.” (HR.Muslim 292 – 674).
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu
‘Anhu bahawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Shalat
berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat.” (HR Muslim
650,249)
Al Khatthabi
dalam kitab Ma`alimus Sunan jilid 1 halaman 160 berkata bahwa kebanyakan ulama
As-Syafi`i mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan
fardhu `ain dengan berdasarkan hadits ini.
2. Pendapat
Kedua: Fardhu `Ain
Yang
berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al Hanafiyah dan mazhab Hanabilah. Atho`
berkata bahawa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak halal selain itu, iaitu
ketika seseorang mendengar azan, haruslah dia mendatanginya untuk shalat.
(lihat Mukhtashar Al Fatawa Al Mashriyah halaman 50).
Dalilnya adalah
hadits berikut:
Dari Aisyah
Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Siapa yang mendengar adzan tapi tidak menjawabnya
(dengan shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak
menginginkannya.” (Al-Muqni` 1/193)
Dengan demikian
bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur, dia berdoa namun
shalatnya tetap sah.
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda, “Sungguh aku mempunyai keinginan untuk memerintahkan shalat dan
didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi
bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu api menuju ke suatu kaum
yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.”
(HR Bukhari 644,657,2420,7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).
3. Pendapat
Ketiga: Sunnah Muakkadah
Pendapat ini
didukung oleh mazhab Al Hanafiyah dan Al Malikiyah sebagaimana disebutkan oleh
Imam Asy Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar jilid 3 halaman 146. Beliau
berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum shalat berjamaah
adalah sunnah muakkadah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya
fardhu `ain, fardhu kifayah atau syarat sahnya shalat, tentu tidak boleh
diterima.
Al-Karkhi dari
ulama Al Hanafiyah berkata bahawa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, namun
tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali kerana uzur. Dalam hal ini
pengertian kalangan mazhab Al Hanafiyah tentang sunnah muakkadah sama dengan
wajib bagi orang lain. Ertinya, sunnah muakkadah itu sama dengan wajib.
(silakan periksa kitab Bada`ius-Shanai` karya Al Kisani jilid 1 halaman 76).
Khalil, seorang
ulama dari kalangan mazhab Al Malikiyah dalam kitabnya Al Mukhtashar mengatakan
bahawa shalat fardhu berjamaah selain shalat Jumaat hukumnya sunnah muakkadah.
Lihat Jawahirul Iklil jilid 1 halama 76.
Ibnul Juzzi
berkata bahawa shalat fardhu yang dilakukan secara berjamaah itu hukumnya
fardhu sunnah muakkadah. (lihat Qawanin Al Ahkam As-Syar`iyah halaman 83).
Ad-Dardir dalam kitab Asy Syarhu Ash Shaghir jilid 1 halaman 244 berkata bahawa
shalat fardhu dengan berjamaah dengan imam dan selain Jumaat, hukumnya sunnah
muakkadah.
Dalil yang
mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah dalil-dalil berikut
ini:
Dari Ibnu Umar
Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat.”
(HR. Muslim 650,249)
Ash Shan`ani
dalam kitabnya Subulus Salam jilid 2 halaman 40 menyebutkan setelah menyebutkan
hadits di atas bahawa hadits ini adalah dalil bahwa shalat fardhu berjamaah itu
hukumnya tidak wajib.
Selain itu
mereka juga menggunakan hadits berikut ini:
Dari Abi Musa
Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda, “Sesungguhnya orang yang mendapatkan ganjaran paling besar adalah
orang yang paling jauh berjalannya. Orang yang menunggu shalat jamaah bersama
imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur.”
(lihat Fathul Bari jilid 2 halaman 278)
4. Pendapat
Keempat: Syarat Sahnya Shalat
Pendapat
keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum syarat fardhu berjamaah adalah
syarat sahnya shalat. Sehingga bagi mereka, shalat fardhu itu tidak sah kalau
tidak dikerjakan dengan berjamaah.
Yang
berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu Taimiyah dalam salah satu
pendapatnya (lihat Majmu` Fatawa jilid 23 halaman 333). Demikian juga dengan
Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta mazhab
Zhahiriyah (lihat Al Muhalla jilid 4 halaman 265). Termasuk di antaranya adalah
para ahli hadits, Abul Hasan At Tamimi, Abu Al Barakat dari kalangan Al Hanabilah
serta Ibnu Khuzaimah.
Dalil yang
mereka gunakan adalah:
Dari Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersaba,
“Siapa yang mendengar azan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat
untuknya, kecuali kerana ada uzur.” (HR Ibnu Majah793, Ad-Daruquthuny 1/420,
Ibnu Hibban 2064 dan Al Hakim 1/245)
Dari Abi
Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda, “Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah
shalat Isyak dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari
kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak.
Sungguh aku mempunyai keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu
aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan
beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut
menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR Bukhari
644,657,2420,7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).
Dari Abi
Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam didatangi oleh seorang laki-laki yang buta(Abdullah Ummi Makrum
R.A’anhu) berkata, “Ya Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku ke
masjid. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata untuk memberikan
keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam memanggilnya dan bertanya, “Apakah kamu dengar azan shalat?” “Ya,”
jawabnya. “Datangilah,” kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam . (HR
Muslim 1/452).
Para ulama berbeda pendapat
dalam hukum shalat berjamaah di tempat selain masjid dalam tiga pendapat:
Pendapat
pertama: Boleh dilakukan di tempat selain masjid.
Ini pendapat Malik, Syafi’i
dan riwayat dari Imam Ahmad, ia juga madzhab Hanafiyyah.
Ibnul Qasim berkata, “Aku
bertanya kepada Malik tentang orang yang shalat fardhu dengan isterinya di rumahnya?” ia menjawab, “Tidak apa-apa hal itu”[1]
Imam Syafi’i –rahimahullah-
berkata, “Setiap jamaah yang padanya shalat seseorang di rumahnya atau di
masjid, kecil atau besar, sedikit atau banyak, maka ia sah. Dan masjid yang
terbesar serta banyak jamaahnya lebih aku sukai.”[2]
Al-Rafi’i dari kalangan
Syafi’iyyah berkata, “Berjamaah di rumah lebih baik dari pada sendirian di
masjid.”
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni[3] berkata, “Dan boleh
melakukannya (shalat berjamaah) di rumah atau di padang pasir”
Dalil-dalilnya
Mereka berdalil dengan
hadis-hadis berikut:
1. Hadis Jabir Radhiyallahu
‘anhu secara marfu, “Dan aku diberi lima perkara … “ lalu disebutkan, “Dan
dijadikan bagiku bumi/tanah sebagai masjid dan tempat yang suci. Siapapun yang
dari umatku yang mendapati waktu shalat maka shalatlah.”[4]
2. Dari Anas, ia berkata,
“Rasulullah SAW adalah orang yang paling baik akhlaknya. Terkadang saat waktu shalat
datang Baginda sedang berada di rumah kami. Kemudian Baginda memerintahkan untuk hamparan di bawahnya, lalu Baginda menyapunya dan memercikan air, dan Rasulullah SAW shalat bersama kami menjadi imam sementara kami berdiri di belakang Baginda.”[5]
3. Dari Aisyah Radhiyallahu
‘anha ia berkata, “Rasulullah shalat di rumahnya dalam keadaan sakit. Baginda shalat dengan duduk sementara sekelompok orang shalat dengan berdiri di
belakangnya, lalu Baginda memberi isyarat agar mereka
duduk.”[6]
Mereka juga berdalil dengan
hadis-hadis lain, yang tidak cukup untuk disebutkan dalam kesempatan ini.
Pendapat
kedua: Tidak boleh dilakukan oleh seorang laki-laki kecuali di masjid.
Pendapat ini merupakan riwayat
lain dari Imam Ahmad dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat ini, ia berkata dalam
“Kitab Shalat”, “Siapapun yang memperhatikan sunnah dengan baik, akan jelas
baginya bahawa mengerjakannya di masjid hukumnya fardhu ain. Kecuali jika ada
halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jumaat dan shalat berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama
dengan meninggalkan shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling
bersepakatlah hadis-hadis dan ayat-ayat.”[7]
Beliau juga berkata, “Dan yang
kami yakin adalah tidak boleh bagi seorang pun meninggalkan jamaah di masjid
kecuali karena uzur, wallahu a’lam bish shawab.”[8]
Sebahagian mereka membatalkan shalat orang yang berjamaah di rumahnya. Abul
Barakat (dari kalangan madzhab hambali) berkata, “Jika ia menyelisihi kemudian
shalat berjamaah di rumahnya, maka tidak sah, kecuali ada uzur, sesuai dengan
pendapat yang dipilih bahwa meninggalkan jamaah berarti melakukan larangan.”[9]
Dalam Syarh Fathul Qadir, “Dan
al-Hulwani ditanya tentang orang yang mengumpulkan anggota keluarganya
kadang-kadang, apakah mendapatkan pahala berjamaah?” ia menjawab, “Tidak, ia
menjadi bid’ah dan dibenci tanpa uzur.”
Dalil-dalilnya
Ulama yang berpendapat dengan
pendapat ini berdalil dengan hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya berjamaah
dan bahwa ia hukumnya fardhu ain. Kemudian ulama madzhab Syafi’i berselisih
pendapat dalam masalah mendirikan shalat berjamaah di selain masjid, apakah
menggugurkan fardhu kifayahnya atau tidak? Mereka berbeza pendapat ke dalam dua pendapat: Pertama, tidak cukup mendirikannya di
selain masjid untuk menegakkan perbuatan yang fardhu. Kedua, cukup jika
tempatnya ramai, seperti shalat berjamaah di pasar misalnya.
Ibnu Daqiq al-Ied –rahimahullah-
berkata, “Yang pertama menurutku adalah yang lebih shahih. Kerana asal
pensyariatannya adalah shalat berjamaah di masjid. Ia adalah pensifatan yang
muktabar yang tidak boleh dihilangkan.”
Pendapat
ketiga: dibedakan antara yang mendengar azan, maka ia tidak sah kecuali di
masjid. Dan orang yang tidak mendengar azan, maka tidak sah shalatnya kecuali
dengan berjamaah.
Ini pendapat Ibnu Hazm
Adz-Dzahiri. Ia berkata dalam “Al-Muhalla”, “Dan tidak sah salah fardhu
seseorang ketika mendengar azan untuk mengerjakannya kecuali di masjid bersama
imam. Jika ia sengaja meninggalkan tanpa uzur, maka shalatnya batal. Jika ia
tidak mendengar azan, maka wajib baginya shalat berjamaah dengan satu orang
atau lebih. Jika ia tidak mengerjakannya, maka tidak ada shalat baginya,
kecuali jika ia tidak menemukan seorang pun untuk shalat bersamanya, maka ia
sah, kecuali bagi yang memiliki uzur, maka juga sah jika ia meninggalkan
jamaah.”[10]
Ibnu Taimiyyah berkata dalam
“Al-Fatawa Al-Mishriyyah”, “Apakah orang yang shalat berjamaah di rumahnya,
gugur darinya kewajiban datang ke masjid? Dalam masalah ini terdapat
perselisihan, dan hendaknya tidak meninggalkan jamaah
di masjid kecuali ada uzur.”[11]
Penutup
Alangkah baiknya jika kita
tutup pembahasan ini dengan perkataan Ibnul Qayyim –rahimahullah- dalam “Kitab
Shalat”:
“Siapapun yang memperhatikan sunnah dengan baik, akan jelas baginya bahwa mengerjakannya di masjid hukumnya
fardhu ain. Kecuali jika ada halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan
shalat jumat dan shalat berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama
dengan meninggalkan shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling
bersepakatlah hadis-hadis dan ayat-ayat.”
Dan ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan sampai kabarnya kepada penduduk Mekah,
Suhail bin Amr berkhutbah –ketika itu Itab bin Usaid menjadikannya gabenur di
Mekkah, ia sembunyi dari mereka kerana takut. Kemudain Suhail mengeluarkannya
saat penduduk Mekah telah kuat dalam Islam- kemudian Itab bin Usaid berkhutbah,
“Wahai penduduk Mekah, tidak sampai kepadaku salah seorang diantara kamu yang
meninggalkan shalat berjamaah di masjid kecuali akan dipukul lehernya.” Para
sahabat Nabi pun berterima kasih kepadanya atas perbuatan ini dan semakin
menambah derajatnya di mata mereka. Dan yang aku yakini, tidak boleh seorang
pun meninggalkan jamaah di masjid kecuali kerena uzur, wallahu ‘alam
bish-shawab.”
Catatan
Setelah tetap bahwa tidak
boleh meniggalkan shalat berjamaah di masjid kecuali bagi yang memiliki uzur,
maka kemudian hendaknya diperhatikan tiga perkara berikut:
1.
Orang yang
ketinggalan shalat berjamaah di masjid dan ia memperkirakan tidak ada yang
dapat shalat bersamanya di masjid, maka yang lebih baik baginya adalah kembali
ke rumah dan shalat berjamaah beserta keluarganya.
2.
Dalam
kondisi safar dan bepergian bersama keluarga, maka ia hendaknya shalat berjamaah
bersama keluarganya.
3.
Jika
tertinggal shalat berjamaah di masjid yang dekat, maka hendaknya ia shalat di masjid yang lain dengan
tanpa memberatkan dan ia yakin akan mendapatinya.
[Diterjemahkan dari kitab “Shalat
al-Jama’ah, Hikamuha wa Ahkamuha”, Syaikh Dr. Shaleh bin Ghanim As-Sadlan,
hal. 52-26]
Dari artikel Shalat Jama’ah Sahkah di Selain Masjid?
MUROJA’AH(Rujukan)
[1] Al-Mudawwanah al-Kubra
(1/86)
[2] Al-Umm (1/136)
[3] (3/8)
[4] Al-Lu`lu wal Marjan
fiimat tafaqa ‘alaihi As-Syaikhan (1/104)
[5] As-Sunan al-Kubra vol,
3, hal. 66
[6] Shahih Al-Bukhari
(1/169), Bab 51 kitab al-adzan.
[7] Kitab as-Shalah, Ibnul
Qayyim, hal. 461 dan yang setelahnya.
[8] Idem
[9] Al-Insaf, al-Wardawi
(2/123, 214)
[10] Al-Muhalla (4/265)
[11] Mukhatashar al-Fatawa
al-Mishriyyah, Ibnu Taimiyyah, hal. 52
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Bacaan Al-Fatihah Makmum Saat Shalat Berjamaah
Saat
shalat berjamaah pada 2 rakaat pertama, bilakah makmum membaca Al-Fatihah?
Apakah setelah imam membaca Al-Fatihah (Saat imam membaca ayat al-Quran) atau
mengikuti bacaan imam saat imam membaca Al-Fatihah?
Jawaban
Apa
yang ditanyakan sesungguhnya tetap masih menjadi polemik di kalangan ahli
ijtihad yang tertinggi, yaitu di kalangan empat mazhab. Secara rinci berikut ini kami sampaikan
bagaimana perbedaan pendapat di tengah mereka, apa yang menyebabkannya tanpa
kami mengharuskan anda memilih sesuai dengan selera kami.
Sebab
pendapat mereka masing-masing ada benarnya dan sulit untuk disalahkan, sehingga
kalau ada teman kita yang kebetulan ada pendapat yang tidak sama dengan
pendapat kita, setidaknya kita boleh membuat perbandingan dengan merujuk kepada
dalil.
a.
Mazhab Asy-Syafi’i
Mazhab
As-syafi`iyah mewajibkan makmum dalam shalat jamaah untuk membaca surat
Al-Fatihah sendiri meski dalam shalat jahriyah (yang dikeraskan bacaan
imamnya). Tidak cukup hanya mendengarkan bacaan imam saja.
Karena
itu mereka menyebutkan bahwa ketika imam membaca surat Al-Fatihah, makmum harus
mendengarkannya, namun begitu selesai mengucapkan, masing-masing makmum membaca
sendiri-sendiri surat Al-Fatihah secara sirr (tidak terdengar).
Namun
dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat Al-Fatihah gugur dalam
kasus seorang makmum yang tertinggal dan mendapati imam sedang ruku`. Maka saat
itu yang bersangkutan ikut ruku` bersama imam dan sudah terhitung mendapat satu
rakaat. Rujuk kitab Al-Majmu, karya Al-Imam An-Nawawi rahimahullah jilid 3
halaman 344 s/d 350.
b.
Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Mazhab
Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa seorang makmum dalam shalat
jamaah yang jahriyah (yang bacaan imamnya keras) untuk tidak membaca apapun
kecuali mendengarkan bacaan imam. Sebab bacaan imam sudah dianggap menjadi
bacaan makmum.c. Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah yang mengatakan bahwa Al-Fatihah itu bukan rukun shalat, cukup membaca ayat Al-Quran saja pun sudah boleh. Sebab yang dimaksud dengan `rukun` menurut pandangan mazhab ini adalah semua hal yang wajib dikerjakan baik oleh imam maupun makmum, juga wajib dikerjakan dalam shalat wajib maupun shalat sunnah.
Sehingga
dalam tolok ukur mereka, membaca surat Al-Fatihah tidak termasuk rukun shalat,
sebab seorang makmum yang tertinggal tidak membaca Al-Fatihah tapi syah
shalatnya. Bahkan makmum shalat dimakruhkan untuk membaca Al-Fatihah karena
makmum harus mendengarkan saja apa yang diucapkan imam.
Selain
itu mereka berpendapat bahwa di dalam Al-Quran diperintahkan membaca ayat Quran
yang mudah. Sebagaimana ayat berikut ini:
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآَنِ
..oleh
itu bacalah mana-mana Yang mudah kamu dapat membacanya dari Al-Quran (dalam sembahyang). (QS. Al-Muzzamil: 20)
Dan
sabda Rasulullah SAW:
Dari
Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak syah shalat itu
kecuali dengan membaca al-Quran.”(HR Muslim)
Dalam
mazhab ini, minimal yang boleh dianggap sebagai bacaan Al-Quran adalah sekadar
6 huruf dari sepenggal ayat. Seperti mengucapkan ‘tsumma nazhar,’ di mana di
dalam lafaz ayat itu ada huruf tsa, mim,
mim, nun, dha` dan ra`. Namun ulama mazhab ini yaitu Abu yusuf dan Muhammad
mengatakan minimal harus membaca tiga ayat yang pendek, atau satu ayat yang
panjangnya kira-kira sama dengan tiga ayat yang pendek.
Silakan
lihat pada kitab Addur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 415, kitab Fathul Qadir jilid
1 halaman 193-205322, kitab Al-Badai` jilid 1 halaman 110 dan kitab Tabyinul
Haqaiq jilid 1 halaman 104)
Wallahu
alam bishshawab, wassalam ‘alaikum warahatullahi wabarakatuh,
**********************************************
Menggerakkan Jari Saat Tahiyat, Mana yang
Sunnah?
Persoalan menggerakkan jari telunjuk saat tahiyat dalam
shalat. Dalil-dalilnya dan pencerahannya? Digerakkan saat membaca syahadat saja
atau dari awal sampai akhir? Dan bagaimana cara menggerakkannya,
dinaik-turunkan atau diputar-putarkan jari?
Jawaban
Masalah
menggerakkan jari telunjuk saat tahiyat di dalam shalat adalah masalah
khilafiyah yang termasuk paling klasik. Saya katakan klasik, kerana sejak zaman
dahulu, para ulama sudah berbeza pendapat. Perbezaan pendapat di antara mereka
tidak kunjung selesai sampai ribuan tahun lamanya, bahkan sampai hari ini.
Masalahnya
bukan kerana para ulama itu hobi berbeza pendapat, juga bukan kerana yang satu
lebih shahih dan yang lain kurang shahih. Juga bukan kerana yang satu lebih
mendekat kepada sunnah dan yang lain kurang dekat. Masalahnya sangat jauh dan
tidak ada kaitannya dengan semua itu.
Titik
masalahnya hanya kembali kepada cara memahami naskah hadits, di mana ada dalil
yang shahih yang disepakati bersama tentang keshahihannya, namun dipahami
dengan cara yang berbeza oleh masing-masing ulama.
Sayangnya,
teks hadits itu sendiri memang sangat dimungkinkan untuk difahami dengan cara
yang berbeza-beza, alias tidak secara spesifik menyebutkannya dengan detail dan
rinci.
Yang
disebutkan hanyalah bahawa Rasulullah SAW menggerakkan jarinya, tetapi apakah
dengan teknis terus-terusan dari awal tahiyat hingga selesai, ataukah hanya
pada saat mengucapkan ‘illallah’ saja, tidak ada dalil yang secara tegas
menyebutkan hal-hal itu.
Dalil-dalil
tentang Menggerakkan Jari
Dari
Wail bin Hujr berkata tentang sifat shalat Rasulullah SAW, “Kemudian Baginda
mengenggam dua jarinya dan membentuk lingkaran, kemudian mengangkat tangannya.
Aku melihat Baginda menggerakkan jarinya itu dan berdoa”. (HR Ahmad, An-Nasai,
Abu Daud dan lainnya dengan sanad yang shahih)
Dari
Abdullah bin Umar ra berkata, “Rasulullah SAW bila duduk dalam shalat
meletakkan kedua tangannya pada lututnya, mengangkat jari kanannya (telunjuk)
dan berdoa”. (HR Muslim)
Dengan
adanya kedua dalil ini, para ulama sepakat bahawa menggerakkan jari di dalam
shalat saat tasyahhud adalah sunnah. Para ulama yang mengatakan hal itu antara
lain adalah Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad bin Hanbal serta satu pendapat di
dalam mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah.
Tinggal
yang jadi titik perbezaan adalah cara mengambil pengertian dari kata ‘menggerakkan’.
Sebahagian ulama seperti kalangan mazhab As-Syafi’i mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan menggerakan hanyalah sekali saja, iaitu pada kata ‘illallah’.
Setelah gerakan sekali itu, jari itu tetap dijulurkan dan tidak dilipat lagi.
Demikian sampai selesai memberi salam shalat.
Sebahagian
lainnya malah sebaliknya, seperti
kalangan mazhab Al-Hanafiyah yang mengatakan bahawa gerakan menjulurkan jari
itu dilakukan saat mengucapkan kalimat nafi (Laa illaha), begitu masuk ke
kalimat isbat (illallaah) maka jari itu dilipat kembali. Jadi menjulurkan jari
adalah isyarat dari nafi dan melipatnya kembali adalah isyarat kalimat itsbat.
Sebagian
lainnya menggerakkan jarinya hanya pada setiap menyebut lafadz Allah di dalam
tasyahhud. Seperti yang menjadi pendapat kalangan mazhab Al-Imam Ahmad bin
Hanbal.
Dan
sebagian lainnya mengatakan bahwa tidak ada ketentuannya, sehingga dilakukan
gerakan jari itu sepanjang membaca tasyahhud. Yang terakhir itu juga merupakan
pendapat Syeikh Al-Albani. (Lihat kitab Sifat Shalat Nabi halaman 140).
Sehingga beliau cenderung mengambil pendapat bahwa menggerakkan jari dilakukan
sepanjang membaca lafadz tasyahhud.
Akan
tetapi, sekali lagi kami katakan itu adalah ijtihad kerana tidak adanya dalil
yang secara tegas menyebutkan hal itu. Sehingga antara satu ulama dengan ulama
lainnya sangat berbeza pandangan. Selama dalil yang sangat teknis tidak atau
belum secara spesifik menegaskannya, maka pintu ijtihad lengkap dengan
perbezaannya masih sangat terbuka luas.
Dan
tidak ada orang yang berhak menyalahkan pendapat orang lain, selama masih di
dalam wilayah ijtihad. Pendeknya, yang mana saja yang ingin kita ikuti dari
ijtihad itu, semua boleh hukumnya. Dan semuanya sesuai dengan sunnah nabi
Muhammad SAW.
Wallahu
a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Deteksi
dan susunjalur: ALFAQIR ABU ASSIDDIQQIE HASSAN ABDUL LATIFF
No comments:
Post a Comment