UWAIS IBNU AMIR ALQARANI
Ikhwatul
Islam - Pemuda bernama Uwais Al-Qarnie. Ia tinggal dinegeri
Yaman. Uwais adalah seorang yang terkenal fakir, hidupnya sangat miskin. Uwais
Al-Qarnie adalah seorang anak yatim. Bapaknya sudah lama meninggal dunia. Ia
hidup bersama ibunya yang telah tua lagi lumpuh. Bahkan, mata ibunya telah
buta. Kecuali ibunya, Uwais tidak lagi mempunyai keluarga sama sekali.
Dalam
kehidupannya sehari-hari, Uwais Al-Qarnie bekerja mencari nafkah dengan
menggembala kambing-kambing orang pada waktu siang hari. Upah yang diterimanya
cukup buat nafkahnya dengan ibunya. Bila ada kelebihan, terkadang ia pergunakan
untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti dia
dan ibunya. Demikianlah pekerjaan Uwais Al-Qarnie setiap hari.
Uwais Al-Qarnie
terkenal sebagai seorang anak yang taat kepada ibunya dan juga taat beribadah.
Uwais Al-Qarnie seringkali melakukan puasa. Bila malam tiba, dia selalu berdoa,
memohon petunjuk kepada Allah. Alangkah sedihnya hati Uwais Al-Qarnie setiap
melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka telah bertemu dengan
Nabi Muhammad SAW, sedang ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah
SAW. Berita tentang Perang Uhud yang menyebabkan Nabi Muhammad SAW mendapat
cedera dan gigi Baginda SAW patah kerana dilempari batu oleh musuh-musuhnya,
telah juga didengar oleh Uwais Al-Qarnie. Segera Uwais mengetuk giginya dengan
batu hingga patah kerana merasa amat malu dirinya yang tidak berkesempatan
berperang sedangkan Baginda Rasulullah SAW sendiri telah patah gigi Baginda.
Hal ini dilakukannya sebagai ungkapan rasa cintanya kepada Nabi Muhammmad SAW,
sekalipun ia belum pernah bertemu dengan Baginda Nabi SAW. Hari demi hari
berlalu, dan kerinduan Uwais untuk menemui Nabi SAW semakin mendalam dan begitu
kuat sekali rindunya. Hatinya selalu bertanya-tanya, bilakah ia dapat bertemu
Nabi Muhammad SAW dan memandang wajah Baginda SAW dari dekat? Ia rindu
mendengar suara Nabi SAW, kerinduan kerana iman.
Tapi bukankah
ia mempunyai seorang ibu yang telah tua renta dan buta, lagi pula lumpuh?
Bagaimana mungkin ia tega meninggalkannya dalam keadaan yang demikian? Hatinya
selalu gelisah. Siang dan malam pikirannya diliputi perasaan rindu memandang
wajah Nabi Muhammad SAW.
Akhirnya,
kerinduan kepada Nabi SAW yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya
lagi. Pada suatu hari ia datang mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan
mohon izin dan restu ibunya agar ia diperkenankan pergi menemui Rasulullah SAW
di Madinah. Ibu Uwais Al-Qarnie walaupun telah uzur, merasa terharu dengan
ketika mendengar permohonan anaknya. Ia memaklumi perasaan Uwais Al-Qarnie
seraya berkata, “pergilah wahai Uwais, anakku! Temuilah Nabi di rumahnya. Dan
bila telah berjumpa dengan Nabi, segeralah engkau kembali pulang.”
Betapa
gembiranya hati Uwais Al-Qarnie mendengar ucapan ibunya itu. Segera ia berkemas
untuk berangkat. Namun, ia tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan
ditinggalkannya, serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya
selama ia pergi. Sesudah bersedia dan bersiap untuk berangkat, beliau mencium
ibunya, berangkatlah Uwais Al-Qarnie menuju Madinah.
Uwais Ai-Qarnie
Pergi ke Madinah
Setelah
menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al-Qarnie sampai juga dikota Madinah
al Munawwarah. Segera ia mencari rumah Nabi Muhammad SAW. Setelah ia menemukan
rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam, keluarlah
seseorang seraya membalas salamnya. Segera saja Uwais Al-Qarnie menanyakan Nabi
saw yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Nabi tidak berada dirumahnya, Baginda
SAW sedang berada di medan pertempuran. Uwais Al-Qarnie hanya dapat bertemu
dengan Ummul Mukminin Siti Aa-isyah R.anha, isteri Baginda Nabi SAW. Betapa
kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi SAW,
tetapi Nabi SAW tidak dapat dijumpainya.
Dalam hati
Uwais Al-Qarnie bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari medan
perang. Tapi bilakah Nabi pulang? Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan
ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, “engkau
harus lekas pulang”.
Akhirnya, kerana
ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemahuannya
untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Kerana hal itu tidak mungkin,
Uwais Al-Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah ra untuk segera pulang
kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW. Setelah itu,
Uwais Al-Qarni pun segera berangkat mengayunkan langkahnya dengan perasaan amat
haru.
Peperangan
telah usai dan Nabi SAW pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi SAW
menanyakan kepada Siti Aa-isyah R.anha. tentang orang yang mencarinya. Nabi
mengatakan bahwa Uwais Al-Qarnie anak yang taat kepada ibunya, adalah penghuni
langit. Mendengar perkataan Nabi SAW, Siti Aa-isyah ra dan para sahabat terpegun.
Menurut keterangan Siti Aa-isyah ra, memang benar ada yang mencari Nabi saw dan
segera pulang kembali ke Yaman, kerana ibunya sudah tua dan sakit-sakitan
sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad SAW melanjutkan
keterangannya tentang Uwais Al-Qarnie, yang dikenali oleh penghuni langit itu,
kepada para sahabatnya., “Kalau sekelian kamu ingin berjumpa dengan dia,
perhatikanlah ia mempunyai tanda putih ditengah talapak tangannya.”
Waktu terus
berganti, dan Nabi SAW kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah
digantikan pula oleh Umar bin Khattab. Suatu ketika, khalifah Umar teringat
akan sabda Nabi SAW tentang Uwais Al-Qarnie, penghuni langit. Beliau segera
mengingatkan kembali sabda Nabi saw itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib ra.
Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar ra dan
Ali ra selalu menanyakan tentang Uwais Al Qarnie, si fakir yang tak punya
apa-apa itu, yang kerjanya hanya menggembalakan kambing dan unta setiap hari?
Mengapa khalifah Umar ra dan sahabat Nabi, Ali ra, selalu menanyakan dia?
Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al-Qarnie turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang baru datang dari Yaman, segera khalifah Umar ra dan Ali ra mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al-Qarnie turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais Al-Qarnie ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, khalifah Umar ra dan Ali ra segera pergi menjumpai Uwais Al-Qarnie.
Dalam
pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais Al-Qarnie telah meninggal
dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang
saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali ra memohon agar Uwais membacakan do'a
dan istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “saya
lah yang harus meminta do'a pada yang ,mulia tuan berdua.”
Mendengar
perkataan Uwais, khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan
istighfar dari anda.” Seperti yang dikatakan Rasulullah sebelum wafatnya. Kerana
desakan kedua sahabat ini, Uwais Al-Qarnie akhirnya mengangkat tangan, berdoa
dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar ra berjanji untuk
menyumbangkan wang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya.
Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja
hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir
ini tidak diketahui orang lagi.”
Fenomena Ketika
Uwais Al-Qarni Wafat
Berita
meninggalnya Uwais Al-Qarnie dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya
telah tersebar ke mana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya,
siapa sebenarnya Uwais Al-Qarnie. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui
siapa sebenarnya Uwais Al-Qarnie disebabkan permintaan Uwais Al-Qarnie sendiri
kepada Khalifah Umar ra dan Ali ra, agar merahsiakan tentang dia. Barulah di
hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi saw,
bahwa Uwais Al-Qarnie adalah penghuni langit. Subhanallah
Doa dan Dzikir Satu hal yang perlu digarisbawahi dari diri Uwais al-Qarnie, kemudian menjadi landasan dalam thariqat-thariqat sufi, selain baktinya yang luar biasa terhadap kedua orang tuanya dan sikap zuhudnya, adalah doa dan zikirnya. Uwais tidak pernah berdoa khusus untuk seseorang, tetapi selalu berdoa untuk seluruh umat kaum muslim. Uwais juga tidak pernah lengah dalam berzikir meskipun sedang sibuk bekerja, mengawasi dan menggiring ternak-ternakannya. Doa dan dzikir bagaikan dua sisi mata wang yang tidak dapat dipisahkan. Hakikatnya adalah satu. Sebab, jelas doa adalah salah satu bentuk dari zikir, dan zikir berterusan mengingati Allah hingga ia tidak sempat bermohon (sesuatu) kepada-Allah, maka Allah akan mengaruniakan kepadanya sesuatu yang terbaik dari yang diminta orang yang berdoa kepadaNya”. Uwais selalu berdoa untuk seluruh muslimin. Doa untuk kaum muslim adalah salah satu bentuk perwujudan dari kepedulian terhadap “urusan kaum muslim”. Rasulullah SAW. Pernah memperingatkan dengan tegas: Siapa yang tidap peduli dengan urusan kaum muslim, maka ia tidak termasuk umatku.” Dalam hal ini, Rasulullah SAW menyatakan bahawa “permohonan yang paling cepat dikabulkan adalah doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan dan mendahulukan doa untuk selain dirinya.” Dan Uwais lebih memilih untuk mendoakan seluruh saudaranya seiman. Suatu ketika Hasan bin Ali ra. terbangun tengah malam dan melihat ibunya, Fatimah az-Zahra R’anha, sedang khusyuk berdoa. Hasan yang penasaran ingin tahu apa yang diminta ibunya dalam doanya berusaha untuk menguping-dengar. Namun Hasan agak sedikit kecewa, kerana dari awal hingga akhir doanya, ibunya, hanya meminta pengampunan dan kebahagian hidup untuk seluruh kaum muslimin di dunia dan di akhirat kelak. Selesai berdoa, segera Hasan bertanya kepada ibunya perihal doanya yang sama sekali tidak menyisakan doanya untuk dirinya sendiri. Ibunya tersenyum, lalu menjawab bahawa “apapun yang kita panjatkan untuk kebahagiaan hidup kaum muslim, hakikatnya, permohonan itu akan kembali kepada kita.” Sebab para malaikat yang menyaksikan doa tersebut akan berkata “Semoga Allah mengabulkanmu dua kali ganda.” Dari prinsip tersebut, para sufi kemudian menarik suatu prinsip yang lebih umum yang padanya bertumpu seluruh rahsia kebahagiaan. Apa yang kita cari dalam kehidupan ini, harus kita berikan kepada orang lain. Jika kebajikan yang kita cari, berikanlah; jika kebaikan, berikanlah; jika pelayanan, berikanlah. Bagi para sufi, dunia adalah kubah, dan perilaku seseorang adalah gema dari pelaku yang lain. Secuil apapun kebaikan yang kita lakukan, ia akan kembali. Jika bukan dari seseorang, ia akan datang dari orang lain. Itulah gemanya. Kita tidak mengetahui dari mana sisi kebaikan itu akan datang, tetapi ia akan datang beratus kali lipat dibanding yang kita berikan. Demikianlah, berdoa untuk kaum muslim akan bergema di dalam diri yang tentu saja akan berdampak besar dan positif dalam membangun dan meningkatkan kualiti kehidupan spiritual seseorang. Paling tidak, doa ini akan memupus ego di dalam diri yang merupakan musuh terbesar, juga sekaligus akan melahirkan dan menanamkan komitmen dalam diri “rasa Cinta”dan “prasangka baik”terhadap mereka, yang merupakan pilar lain dari ajaran sufi, sebagai manifestasi cinta dan pengabdian kepada Allah swt. Uwais tidak pernah lengah untuk berzikir, mengingat dan menyebut-nyebut nama Allah meskipun ia sedang sibuk mengurus binatang ternaknya. Zikir dalam pengertiannya, yang umum mencakup ucapan segala macam ketaatan kepada Allah swt.
Namun yang
dilakukan Uwais disini adalah berzikir dengan menyebut nama-nama Allah dan
mengingat Allah, juga termasuk sifat-sifat Allah.
Ibn Qayyim al-Jauzi ketika memaparkan berbagai macam faedah zikir dalam kitabnya “al-wabil ash-shayyab min al-kalim at-thayyib” menyebutkan bahawa “yang paling utama pada setiap orang yang beramal adalah yang paling banyak berzikir kepada Allah SWT. Ahli shaum(puasa) yang paling utama adalah yang paling banyak zikirnya; pemberi sedekah yang paling baik adalah yang paling banyak zikirnya; para hujjaj(haji) yang paling utama adalah yang paling banyak berzikir kepada Allah swt; dan seterusnya, yang mencakup segala aktiviti dan keadaan.”
AsShohibus Samahah AsSyed Muhammad Alawi alHusaini dalam “al-Qawl al-Mu’tamad,” menyebutkan bahwa mulianya suatu nama adalah kerana kemuliaan pemilik nama itu, sebab nama itu mengandung kesan si pemiliknya dalam lipat tersembunyi esensi rahsianya dan maknanya. Berzikir dan mengulang-ulang Asma Allah, Sang Pemilik kemuliaan, dengan demikian, tak diragukan lagi akan memberikan sugesti, efek, dan pengaruh yang sangat besar.
Dan hal ini,
dalam pandangan Ibnul ‘Arabi, bererti sang hamba tersebut menyerap nama Allah,
yang kemudian merubahnya dengan ontologis. Demikianlah, setiap kali kita
menyerap Asma Allah membawa zikir kepada-Nya, esensi kemanusiaan kita berubah.
Kita mengalami tranformasi. Yang pada akhirnya akan membuahkan akhlak
al-karimah yang merupakan tujuan pengutusan Baginda Besar Rasulullah Muhammad SAW.
Dilihat dari sudut pandangan psikologis sufistik, pertama-tama zikir akan
memberi kesan pada ruh seseorang, membentuknya membangun berbagai kualiti
kebaikan, dan kekuatan inspirasi yang disugestikan oleh nama-nama itu.
Catitan: Pemilik
Blog: Ust Hassan Abdul Latiff telah memilih nama
Tabi’in yang paling mulia ini untuk dijadikan nama blog beliau, dan beliau
telah menamakan cucunda beliau yang sulung dari anakanda beliau yang sulung
juga dengan nama ini iaitu: UWAIS ALQARNIE BIN
ALMAHDI ASSIDDIQQIE
No comments:
Post a Comment