Friday 7 February 2014



ZIARAH KE MAKAM RASULULLAH SAW
Sebahagian orang yang mengaku dirinya sebagai ulamak mengklaim bahawa melakukan perjalanan (safar) dengan tujuan ziarah ke makam nabi atau wali adalah maksiat yang haram dilakukan. Pernyataan ini sama sekali tidak berdasar. Bahkan bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan para ulamak) dari kalangan madzhab yang empat dan juga ulamak selain madzhab empat. Yakni ulamak sejati yang dapat dipercayai fatwa-fatwa mereka.
Ziarah ke makam nabi hukumnya adalah sunnah. Baik bagi orang yang berdomisili di Madinah mahupun bagi mereka yang tinggal jauh dari Madinah. Tegasnya, menempuh perjalanan dari luar kota Madinah ke Madinah dengan niat hanya berziarah ke makam Baginda SAW adalah sunnah dan sudah barang tentu pelakunya mendapat pahala dari Allah ‘azza wajalla.
Banyak hadits dan atsar yang boleh dijadikan dalil atas hal ini. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, ath-Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir dan al Awsath dan al Hakim dalam Mustadrak-nya bahawasanya “pada suatu hari datang Marwan (Marwan ibn al Hakam, salah seorang khalifah Bani Umayyah). Dia mendapati seseorang meletakkan wajahnya di atas makam Rasulullah SAW (kerana rindu dan ingin memperoleh berkah dari Baginda). Marwan mengherdik orang itu: “Tahukah kamu apa yang sedang kamu perbuat ?”, lalu orang itu menoleh dan ternyata dia adalah Abu Ayyub al Anshari (salah seorang sahabat nabi yang terunggul) kemudian berkata: “Ya, aku mendatangi Rasulullah SAW dan aku tidak mendatangi sebongkah batu, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan tangisi agama ini jika ia dikendalikan oleh ahlinya, tetapi tangisilah agama ini apabila ia dikendalikan oleh yang bukan ahlinya”. Maksudnya, Anda, wahai Marwan tidak layak menjadi khalifah.
Ibn Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ جَاءَنِيْ زائِرًا لاَ يَهُمُّهُ إلاَّ زِيَارَتِيْ كَانَ حَقًّا عَلَيَّ أنْ أكُوْنَ لَهُ شَفِيْعًا” (رَوَاهُ الطَّبَرَانِي)
Maknanya: “Barangsiapa mendatangiku untuk berziarah, tidak ada tujuan lain kecuali ziarah (ke makam) ku maka sungguh menjadi hak bagiku untuk memberikan syafa’at kepadanya” (H.R. ath-Thabarani dan dishahihkan oleh al Hafidz Sa’id ibn as-Sakan dalam as-Sunan as-Shihah; kitab yang beliau karang khusus memuat hadits-hadits yang disepakati kesahihannya, seperti halnya Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim, lihat: Ithaf as-Sadah al Muttaqin karya al Hafizh az-Zabidi, juz IV, hlm. 416).
Dalam hadits lain, Baginda SAW bersabda:
مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ” (رَوَاهُ الدَّارَ قُطْنِيّ)
Maknanya: “Barangsiapa berziarah ke makamku maka pasti akan memperoleh syafa’atku“. (H.R. ad-Daraquthni, dan adz-Dzahabi berkomentar: “Hadits ini menjadi kuat dengan adanya jalur sanad yang berbeza-beza”, lihat: Manahil ash-Shafa fi Takhrij Ahadits asy-Syifa karya  as-Suyuthi, hlm. 308).
Dalam kitab Wafa’ al Wafa, juz IV, hlm. 1045, as-Samhudi meriwayatkan bahawa  Bilal ibn Rabah ketika berada di daerah Syam bermimpi melihat Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Sudah lama engkau tidak mengunjungiku wahai Bilal…!” (Ma hadzihi al jafwah). Ketika terjaga dari tidurnya, Bilal langsung menaiki haiwan tunggangannya dan bergegas menuju Madinah. Setelah sampai di makam Rasulullah SAW, ia meneteskan air mata dan membolak-balikkan wajahnya di atas tanah makam Rasulullah SAW “.
Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
لَيَهْبَطَنَّ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَدْلاً وَإِمَامًا مُقْسِطًا وَلَيَسْلُكَنَّ فَجًّا حَاجًّا أوْ مُعْتَمِرًا أوْ بِنِيَّتِهِمَا وَلَيَأْتِيَنَّ قَبْرِيْ حَتَّى يُسَلِّمَ عَلَيَّ وَلأرُدَنَّ عَلَيْه “  رَوَاهُ الحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ الذَّهَبِيّ
Maknanya: “Sungguh, Isa ibn Maryam akan turun menjadi penguasa dan Imam yang adil, dia akan menempuh perjalanan untuk pergi haji atau umrah atau dengan niat keduanya dan sungguh, dia akan mendatangi makamku sehingga berucap salam kepadaku dan aku pasti akan menjawabnya” (diriwayatkan oleh al Hakim dalam al Mustadrak dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi).
Al Hafizh ‘Abdurrahman ibn al Jauzi mengisahkan dalam kitabnya, al Wafa bi Ahwaal al Musthafa dan kisah ini juga dituturkan oleh al Hafizh adl-Dhiya’ al Maqdisi bahawa Abu Bakr al Minqari berkata: “Adalah aku, ath-Thabarani dan Abu asy-Syeikh berada di Madinah. Kami dalam suatu keadaan dan kemudian rasa lapar melilit perut kami, pada hari itu kami tidak makan. Ketika tiba waktu Isyak’, aku mendatangi makam Rasulullah SAW dan mengadu: “Wahai Rasulullah! lapar…lapar”, lalu aku kembali. Abu as-Syaikh berkata kepadaku: “Duduklah, (mungkin) akan ada rezki atau (kalau tidak, kita akan) mati”. Abu Bakr melanjutkan kisahnya: “Kemudian aku dan Abu asy-Syaikh beranjak tidur sedangkan ath-Thabarani duduk melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah seorang ‘Alawi (sebutan bagi orang yang memiliki garis keturunan dengan Ali dan Fatimah) lalu ia mengetuk pintu dan ternyata ia ditemani oleh dua orang pembantu yang masing-masing membawa bekas yang besar semacam kuali yang di dalamnya  ada banyak makanan. Maka kami duduk lalu makan. Kami mengira sisa makanan akan diambil oleh pembantu itu, tapi ternyata ia meninggalkan kami dan membiarkan sisa makanan itu ada pada kami. Setelah kami selesai makan, ‘Alawi  itu berkata: “Wahai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah?, sesungguhnya aku tadi mimpi melihat Baginda SAW dan Baginda SAW menyuruhku untuk membawakan sesuatu kepada kalian”. Dalam kisah ini, secara jelas dinyatakan bahawa menurut mereka, mendatangi makam Rasulullah SAW untuk meminta pertolongan (al Istighatsah) adalah boleh dan baik. Siapapun mengetahui bahawa mereka bertiga (terutama, ath-Thabarani, seorang ahli hadits kenamaan) adalah ulama–ulama besar Islam. Dan kalau mau ditelusuri, banyak sekali cerita–cerita semacam ini .
Dalam kitab asy-Syifa bi Ta’rif Huquq al Mushthafa, al Qadli ‘Iyadl menulis: “Ketika khalifah al Manshur menunaikan ibadah haji lalu ziarah ke makam Rasulullah SAW, ia bertanya kepada Imam Malik (guru Imam Syafi’i): “Aku menghadap kiblat dan berdo’a ataukah aku menghadap (makam) Rasulullah?”. Imam Malik menjawab: “Kenapa anda memalingkan wajah dari Baginda SAW sedangkan Baginda SAW adalah wasilah anda dan wasilah bapak anda, Adam ‘alaihissalam ?; Menghadaplah kepada Baginda dan berdo’alah kepada Allah agar anda memperoleh syafa’at dari Baginda SAW, nescaya Allah akan menjadikan Baginda SAW pemberi syafaat bagi anda”. Cerita ini adalah shahih tanpa ada perselisihan pendapat, sebagaimana yang dikatakan Imam Taqiyyuddin al Hushni (lihat: Daf’u Syubah man Syabbaha wa Tamarrada, hlm. 74 dan 115).
Dalam kitab Tuhfah Ibn ‘Asakir, sebagaimana dikutip oleh as-Samhudi dalam Wafa’ al Wafa, juz IV, hlm. 1405 bahwa ketika Rasulullah dimakamkan, Saidatina Fatimah R.anha datang kemudian berdiri di samping makam Baginda SAW lalu mengambil segenggam tanah dari makam Baginda Nabi SAW dan ia letakkan (sentuhkan) tanah itu ke matanya kemudian ia menangis…”.
Dalam kitab al Ilal wa Ma’rifat ar-Rijal, juz II, hlm. 35, dituturkan bahwa aku (Abdullah, putra Ahmad ibn Hanbal) bertanya kepadanya (kepada ayahnya, Imam Ahmad) tentang orang yang menyentuh mimbar nabi dengan niat agar mendapatkan berkah dengan menyentuh dan menciumnya, dan melakukan hal yang sama atau semacamnya terhadap makam Rasulullah SAW dengan niat mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla.  Imam Ahmad menjawab: “Tidak mengapa (la ba’sa bi dzalik)”.
Lebih dari itu, para ulamak dalam kitab-kitab karangan mereka telah menjelaskan bahawa ziarah ke makam Rasulullah hukumnya adalah sunnah dan selalu disebutkan dalam rangkaian manasik haji (lihat kitab-kitab fiqh tentang manasik haji seperti al Idhah karya an-Nawawi, at-Tadzkirah karya Ibn ‘Aqil al Hanbali dan lain-lain). Dan hukum kesunnahan itu adalah ijma’. Di antara mereka yang menegaskan hal tersebut adalah Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam kitab Syifa’ as-Saqam Fi Ziyarah Khair al Anam, hlm. 65-66, al Qadli ‘Iyadl al Maliki dalam karyanya asy-Syifa bi Ta’rif Huquq al Mushthafa juz II, hlm. 83, Imam an-Nawawi dalam Matn al ‘Idlah fi al Manasik, hlm. 156, beliau mengatakan tentang ziarah ke makam Rasulullah:
فَإِنَّهَا مِنْ أهَمِّ القُرُبَاتِ وَأنْجَحِ المَسَاعِي

Maknanya: “Ia tergolong hal terpenting untuk mendekatkan diri kepada Allah dan termasuk usaha paling sukses (baik)“.
Selanjutnya adalah al Hafizh adl Dliya’ al Maqdisi dalam Fadlail al A’mal, hlm. 108, beliau menuturkan beberapa hadits sebagai dalil penguat hal itu, di antaranya:
مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِيْ بَعْدَ وَفَاتِي فَكَأنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي

Maknanya: “Barangsiapa pergi haji kemudian ziarah ke makamku setelah aku wafat maka seakan-akan ia telah mengunjungiku sewaktu aku masih hidup“.
Ulama lain yang menyatakan kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah adalah al Hafizh Ibn Hajar al ‘Asqalany dalam Fath al Bari juz III, hlm. 65-66, Syekh Taqiyyuddin al Hushni (pengarang Kifayatul Akhyar) dalam kitabnya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada hlm. 94-95, al Hafizh Abu Zur’ah al ‘Iraqi dalam Tharh at-Tatsrib Fi Syarh at-Taqrib hlm. 43, Syekh Ibn Hajar al Haytami dalam al Jawhar al Munazhzham Fi Ziyarah al Qabr asy-Syarif an-Nabawi al Mukarram hlm. 27-28 dan masih banyak lagi yang lain.
Seseorang yang berziarah ke makam Rasulullah dianjurkan untuk berdo’a di sana, sebagaimana hal itu disebutkan oleh ulamak-ulamak empat madzhab. Di antaranya adalah Imam Abu Abdillah as-Samiri dalam al Mustaw’ab, an-Nawawi dalam al ‘Idhah, Abu Mansur al Kirmani al Hanafi dan lain-lain (lihat nama-nama dan pernyataan mereka mengenai hal ini dalam Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada, hlm. 115-116).
Terakhir, penting untuk diketahui bahwa ziarah ke makam Rasulullah SAW atau ke makam orang-orang shaleh lainnya bukan bererti menyembah mereka. Mereka hanyalah wasilah (perantara) kita kepada Allah dalam berdo’a. Kerananya, al Imam Syamsuddin Ibn al Jazary —seorang imam besar dalam hadits dan ilmu qira’at—menyatakan:
مِنْ مَوَاضِع إجَابَةِ الدُّعَاءِ قُبُوْرُ الصَّالِحِيْنَ

Maknanya: “Termasuk tempat yang sering menyebabkan do’a terkabul adalah kuburan orang-orang yang shaleh“. (al Hishn al Hashin dan ‘Uddah al Hishn al Hashin).
Kalau ada orang yang berziarah ke suatu makam dengan niat menyembah orang yang ada dalam makam atau dengan membawa keyakinan bahawa si mayit boleh mendatangkan manfaat atau menolak bahaya dengan sendirinya tanpa seizin Allah, tentu saja, dia telah melakukan pekerjaan yang syirik dan dia adalah musyrik.

Masa-il Diniyyah dan susunjalur Abu AsSiddiqqie Hassan Abdul Latiff